Sekarang ini pemerintah dipusingkan dengan jumlah PNS yang semakin membengkak mencapai 4,7 juta karena sangat membebani APBN. Jumlah itu secara kuantitatif membebani anggaran negara hingga lebih dari 31 persen, sehingga serapan belanja pegawai menjadi sangat besar. Serapan anggaran negara secara nasional itu sebenarnya masih kecil, karena belanja pegawai di daerah bahkan bisa dua atau bahkan tiga kali lipatnya.
Belanja
pegawai yang besar itu dengan sendirinya mengurangi belanja modal yang dapat
dialokasikan bagi pembangunan infrastuktur dan fasilitas publik lainnya. Bahkan
ada sejumlah daerah yang 70% ABPD-nya terserap hanya untuk belanja pegawai
sedangkan sisanya dialokasikan untuk belanja rutin sehingga tak ada sedikitpun anggaran
yang dialokasikan untuk pembangunan. Ini secara umum terlihat pada kondisi
fasilitas umum yang tidak layak di hampir semua daerah. Seperti:
kerusakan jalan yang terjadi hampir disetiap propinsi. Sekolah atau
jembatan yang ambruk pun menjadi berita di banyak media massa. Celakanya,
sekitar 20 s.d 30 persen dari belanja modal yang dilaksanakan melalui pengadaan
barang/jasa, menjadi santapan empuk bagi orang2 seperti Nazarudin dan konco-konconya.
Pada saat
yang sama pemerintah juga harus menaikkan gaji PNS. Ini sudah dilakukan hampir
selama lima tahun terakhir. Juga kebijakan gaji ke 13 yang hampir enam tahun
berturut-turut diberikan. Ditambah lagi renumerasi yang secara bertahap
yang telah dilaksanakan di sejumlah kementerian. Tiga kebijakan itu secara
kumulatif meningkatkan beban anggaran negara dengan sangat signifikan. Semula
kebijakan ini berlatarbelakang reformasi. Meskipun faktanya… juga tidak
mengubah apa2. Korupsi masih menggerogoti hampir di semua lini dan tingkatan
dalam birokrasi.
Ini semua
karena pengangkatan PNS memang tidak lepas dari kebijakan politik kekuasaan
partai penguasa sejak awal pemerintahan. Kebijakan ini pula yang menjadi salah
satu biang kerok mengapa PNS menjadi tak efektif. Salah satunya karena
kebijakan pengangkatan tenaga honorer tanpa proses seleksi.
Benarkah demikian?
Coba kita
tengok ke belakang. Satu tahun sejak saat terpilihnya SBY sebagai presiden, hal
pertama yang dipikirkannya adalah mengamankan posisi kekuasaannya pada pilpres
berikutnya tahun 2009. Politik kekuasaan itu langsung dituangkan dengan
terbitnya PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan (tanpa seleksi) berlaku bagi semua tenaga
honorer yang diangkat sebelum 2005 dan ditargetkan selesai tahun 2009. Jelas
angka tahun 2009 bukan karena sekedar mengandung unsur 9 sebagai angka
favorit SBY. Tapi mengarah pada masa pilpres untuk masa jabatan kedua.
Kebijakan
pengangkatan–tanpa seleksi–bagi tenaga honorer jelas menjadi kebijakan politik
kekuasaan yang sekaligus menjadi blunder bagi politik birokrasi pemerintah.
Kenapa demikian?
Pertama, rekrutmen tenaga honorer, meski
berpijak pada kebutuhan tenaga riil atas beban kerja dan keterbatasan
anggaran, adalah merupakan kebijakan yang sarat dengan nuansa KKN. Bukan
rahasia lagi bahwa bahwa rekrutmen tenaga honor ini umumnya merupakan
akal-akalan sebagai jalan memutar untuk bisa menjadi PNS. Rekrutmen dengan
mudah dilakukan tanpa proses seleksi baku seperti halnya seorang calon PNS
umumnya. Banyak pintu yang dimasuki untuk dapat menjadi tenaga honorer karena
memang tidak ada standar baku bagi pengangkatannya. Bahkan seorang kepala
sekolahpun dapat merekrutnya cukup dengan satu lembar surat tugas yang dapat
diperpanjang setiap tahun.
Banyaknya
pintu dan tidak adanya standar seleksi menjadikan seorang kepala satuan kerja
dengan mudah memasukkan siapa saja yang dikehendaki untuk direkrut menjadi
tenaga honorer. Pada situasi ini faktor kekerabatan menjadi sangat menonjol.
Atau jika dia orang lain, imbalan dapa menjadi latar belakangnya. Pada situasi
ini dapat kita bayangkan bagaimana kualitas hasil rekrutan yang hampir tanpa
seleksi.
Kedua, celakanya pula kebijakan
pengangkatan tenaga honorer yang terbatas hanya bagi tenaga sebelum 2005,
disambut dengan ‘kreatifitas’ keblinger oleh sejumlah kepala satuan kerja di
daerah. Muncullah tenaga2 honorer yang sebenarnya diangkat setelah tahun 2005,
dan seharusnya tidak berhak diangkat menjadi PNS dokumennya disulap ‘anti
datir‘ (mundur) seolah mereka telah menjadi tenaga honorer sebelum tahun
2005. Dengan tujuan tertentu–umumnya dengan motif kekerabatan atau
imbalan–mereka menjadi ‘berhak’ untuk menduduki ‘kursi haram’ sebagai PNS.
Meminjam
istilah MenPAN R&B, kreatifitas ‘kurang ajar’ seperti di atas menyebabkan
sebagian tenaga honorer yang lebih berhak menjadi tercecer. Dan hingga sekarang
masih belum selesai. Dengan beban pengangkatan ini pemerintah memperpanjang
kebijakan pengangkatan honorer hingga tahun 2012. Kelompok inilah yang
selama ini banyak menghiasi media massa dan berdemo menuntut untuk tetap
diangkat.
Dinamika
anggaran saat ini telah berubah. Kebijakan remunerasi belum menyentuh semua PNS
dan sebagian belum 100 persen dibayarkan. Di lain pihak kebijakan untuk
menyesuaikan gaji PNS dengan inflasi melalui kenaikan gaji setiap tahun, dan
pemberian gaji ke 13 telah menjadi perangkap hukum melalui amanat UU. Tidak ada
pilihan lain bagi pemerintahan SBY, moratorium dan program pensiun dini menjadi
satu-satunya alternatif rasional untuk lolos dari kebangkrutan negara. Politik
kekuasaan yang dibungkus dengan politik birokrasi dan reformasi PNS, bagai
menepuk air di dulang–memercik muka sendiri. Seperti slogan antikorupsi yang
hingar bingar didengungkan pada awal pemerintahan, dan kini menjadi bumerang
bagi diri sendiri.
Jika program
nol pertumbuhan (zero growth) melalui moratorium dan pensiun dini PNS
tidak direncanakan melalui cetak biru atas peta
kebutuhan riil pegawai dan beban kerja, niscaya persoalan PNS akan
menjadi pekerjaan “cuci piring” bagi pemerintahan berikutnya. Seperti yang
dikeluhkan pemerintahan SBY saat awal masa pemerintahannya–pasca kemenangan
pilpres yang menggeser pemerintahan Megawati.
Kartono Wae
Kompasioner
Tidak ada komentar:
Posting Komentar