Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Welcome | 어서 오세요 | ようこそ

Beranda

Selasa, 11 Juni 2013

PNS dalam Politik Kekuasaan SBY


Sekarang ini pemerintah dipusingkan dengan jumlah PNS yang semakin membengkak mencapai 4,7 juta karena sangat membebani APBN. Jumlah itu secara kuantitatif membebani anggaran negara hingga lebih dari 31 persen, sehingga serapan belanja pegawai menjadi sangat besar. Serapan anggaran negara secara nasional itu sebenarnya masih kecil, karena belanja pegawai di daerah bahkan bisa dua atau bahkan tiga kali lipatnya.

Belanja pegawai yang besar itu dengan sendirinya mengurangi belanja modal yang dapat dialokasikan bagi pembangunan infrastuktur dan fasilitas publik lainnya. Bahkan ada sejumlah daerah yang 70% ABPD-nya terserap hanya untuk belanja pegawai sedangkan sisanya dialokasikan untuk belanja rutin sehingga tak ada sedikitpun anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan. Ini secara umum terlihat pada kondisi fasilitas umum yang tidak layak di hampir semua daerah. Seperti: kerusakan  jalan yang terjadi hampir disetiap propinsi. Sekolah atau jembatan yang ambruk pun menjadi berita di banyak media massa. Celakanya, sekitar 20 s.d 30 persen dari belanja modal yang dilaksanakan melalui pengadaan barang/jasa, menjadi santapan empuk bagi orang2 seperti Nazarudin dan konco-konconya.

Pada saat yang sama pemerintah juga harus menaikkan gaji PNS. Ini sudah dilakukan hampir selama lima tahun terakhir. Juga kebijakan gaji ke 13 yang hampir enam tahun berturut-turut diberikan. Ditambah lagi  renumerasi yang secara bertahap yang telah dilaksanakan di sejumlah kementerian. Tiga kebijakan itu secara kumulatif meningkatkan beban anggaran negara dengan sangat signifikan. Semula kebijakan ini berlatarbelakang reformasi. Meskipun faktanya… juga tidak mengubah apa2. Korupsi masih menggerogoti hampir di semua lini dan tingkatan dalam birokrasi.

Ini semua karena pengangkatan PNS memang tidak lepas dari kebijakan politik kekuasaan partai penguasa sejak awal pemerintahan. Kebijakan ini pula yang menjadi salah satu biang kerok mengapa PNS menjadi tak efektif. Salah satunya karena kebijakan pengangkatan tenaga honorer tanpa proses seleksi.

Benarkah demikian?
Coba kita tengok ke belakang. Satu tahun sejak saat terpilihnya SBY sebagai presiden, hal pertama yang dipikirkannya adalah mengamankan posisi kekuasaannya pada pilpres berikutnya tahun 2009. Politik kekuasaan itu langsung dituangkan dengan terbitnya PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan (tanpa seleksi) berlaku bagi semua tenaga honorer yang diangkat sebelum 2005 dan ditargetkan selesai tahun 2009. Jelas angka tahun 2009 bukan karena sekedar mengandung unsur 9 sebagai angka favorit SBY. Tapi mengarah pada masa pilpres untuk masa jabatan kedua.

Kebijakan pengangkatan–tanpa seleksi–bagi tenaga honorer jelas menjadi kebijakan politik kekuasaan yang sekaligus menjadi blunder bagi politik birokrasi pemerintah. Kenapa demikian?

Pertama, rekrutmen tenaga honorer, meski berpijak pada kebutuhan tenaga riil atas beban kerja dan  keterbatasan anggaran, adalah merupakan kebijakan yang sarat dengan nuansa KKN. Bukan rahasia lagi bahwa bahwa rekrutmen tenaga honor ini umumnya merupakan akal-akalan sebagai jalan memutar untuk bisa menjadi PNS. Rekrutmen dengan mudah dilakukan tanpa proses seleksi baku seperti halnya seorang calon PNS umumnya. Banyak pintu yang dimasuki untuk dapat menjadi tenaga honorer karena memang tidak ada standar baku bagi pengangkatannya. Bahkan seorang kepala sekolahpun dapat merekrutnya cukup dengan satu lembar surat tugas yang dapat diperpanjang setiap tahun.

Banyaknya pintu dan tidak adanya standar seleksi menjadikan seorang kepala satuan kerja dengan mudah memasukkan siapa saja yang dikehendaki untuk direkrut menjadi tenaga honorer. Pada situasi ini faktor kekerabatan menjadi sangat menonjol. Atau jika dia orang lain, imbalan dapa menjadi latar belakangnya. Pada situasi ini dapat kita bayangkan bagaimana kualitas hasil rekrutan yang hampir tanpa seleksi.

Kedua, celakanya pula kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang terbatas hanya bagi tenaga sebelum 2005, disambut dengan ‘kreatifitas’ keblinger oleh sejumlah kepala satuan kerja di daerah. Muncullah tenaga2 honorer yang sebenarnya diangkat setelah tahun 2005, dan seharusnya tidak berhak diangkat menjadi PNS  dokumennya disulap ‘anti datir‘ (mundur) seolah mereka telah menjadi tenaga honorer sebelum tahun 2005. Dengan tujuan tertentu–umumnya dengan motif kekerabatan atau imbalan–mereka menjadi ‘berhak’ untuk menduduki ‘kursi haram’ sebagai PNS.

Meminjam istilah MenPAN R&B, kreatifitas ‘kurang ajar’ seperti di atas menyebabkan sebagian tenaga honorer yang lebih berhak menjadi tercecer. Dan hingga sekarang masih belum selesai. Dengan beban pengangkatan ini pemerintah memperpanjang kebijakan pengangkatan honorer hingga tahun 2012. Kelompok inilah yang selama ini banyak menghiasi media massa dan berdemo menuntut untuk tetap diangkat.

Dinamika anggaran saat ini telah berubah. Kebijakan remunerasi belum menyentuh semua PNS dan sebagian belum 100 persen dibayarkan. Di lain pihak kebijakan untuk menyesuaikan gaji PNS dengan inflasi melalui kenaikan gaji setiap tahun, dan pemberian gaji ke 13 telah menjadi perangkap hukum melalui amanat UU. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintahan SBY, moratorium dan program pensiun dini menjadi satu-satunya alternatif rasional untuk lolos dari kebangkrutan negara. Politik kekuasaan yang dibungkus dengan politik birokrasi dan reformasi PNS, bagai menepuk air di dulang–memercik muka sendiri. Seperti slogan antikorupsi yang hingar bingar didengungkan pada awal pemerintahan, dan kini menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Jika program nol pertumbuhan (zero growth) melalui moratorium dan pensiun dini PNS tidak direncanakan  melalui cetak biru atas peta kebutuhan riil pegawai dan beban kerja, niscaya persoalan PNS  akan menjadi pekerjaan “cuci piring” bagi pemerintahan berikutnya. Seperti yang dikeluhkan pemerintahan SBY saat awal masa pemerintahannya–pasca kemenangan pilpres yang menggeser pemerintahan Megawati.

Kartono Wae
Kompasioner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar