Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Welcome | 어서 오세요 | ようこそ

Beranda

Minggu, 16 Juni 2013

Kealayan SBY Dalam Kebijakan BBM


Akhir-akhir ini isu tentang kenaikan harga BBM bersubsidi semakin panas saja. Ketidakpastian dan maju mundurnya keputusan SBY mengenai kenaikan harga BBM dinilai sebagai ketidaktegasan seorang pemimpin. Kalau anak gaul jaman sekarang bilang SBY itu alay karena masih labil dan selalu galau.

Pemerintah saat ini dinilai lalu lama ”menggoreng” isu kenaikan harga minyak (BBM) bersubsidi. Bahkan masyarakat di akar rumput pun menilai aneh karena pemerintah memelihara ketidakpastian tersebut sampai sekian lama. Ketidakpastian kenaikan harga BBM akan memberikan dampak yang sangat serius bagi masyarakat, yakni kenaikan harga kebutuhan pokok sebelum BBM naik.

Harga sejumlah komoditas kebutuhan pokok, seperti beras, bawang dan cabai, mulai naik. Harga bahan bangunan juga menunjukan kecenderungan yang sama. Inilah ekses atau kerusakan yang diakibatkan oleh berlarut-larutnya ketidakpastian harga baru BBM bersubsidi. Artinya, harga yang harus dibayar oleh rakyat akibat ketidakpastian sekarang itu terlalu mahal.

Alasan bahwa harga baru BBM bersubsidi akan ditetapkan pemerintah setelah DPR merespons proposal dana kompensasi adalah perilaku tidak bertanggung jawab. Sekalipun proposal dana kompensasi itu populis, tidak semestinya penekanan pada dana kompensasi menjadi sumber masalah yang merugikan puluhan hingga ratusan juta orang. 

Kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi melalui bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai bagian dari politik pencitraan. Dengan adanya kompensasi, pemerintah tetap terlihat baik, meskipun harga BBM dinaikkan. Sementara itu, kalau BBM gagal dinaikkan karena anggaran kompensasi tidak disepakati, pemerintah bisa menyalahkan para politisi.

Ketidakadilan juga terjadi karena pemerintah lebih memerioritaskan lolosnya proposal dana kompensasi untuk melayani 15,5 juta keluarga atau kelompok sasaran dari dana kompensasi itu. Kenaikan harga BBM juga selalu mengeskalasi persoalan yang tidak bisa dielakkan oleh rakyat kebanyakan.

Beban kehidupan bertambah berat, karena semua komoditas kebutuhan pokok tidak mudah diperoleh. Apalagi, pasar tidak berkompromi. Sebab bila biaya distribusi naik akibat naiknya harga BBM, maka harga komoditas naik.

Terlalu Lama
Keputusan Presiden SBY yang akan menaikkan harga BBM namun belum memastikan kapan waktunya, menuai kritikan karena dianggap tak memberikan kepastian bagi dunia usaha. Sikap pemerintah yang terlalu memberikan jeda waktu yang lama antara eksekusi kenaikan harga BBM dengan pengumuman informasi BBM akan naik, membuat konsumen maupun pedagang kecil yang dirugikan.

Hal ini berbeda sekali ketika pada era Orde Baru masa Presiden Soeharto. Pada era tersebut pengumuman kenaikan harga BBM dengan pelaksanaan kenaikan harga sangat singkat sehingga tak ada kegiatan spekulasi yang bisa membuat kenaikan harga-harga barang di pasar. Zaman orde baru, terlepas dibilang tidak baik, biasanya jam 00.00 diberlakukan harga baru, jam 10.00 malam baru diumumkan (2 jam sebelum diberlakukan), itu tak ada yang tahu, hanya orang terdekat presiden yang tahu, jadinya tidak ada spekulan.

Saat ini zaman memang sudah berubah, namun diharapkan pemerintah seharusnya memberikan kepastian, agar wacana kenaikan harga BBM tidak menjadi berlarut-larut, berbulan-bulan, sampai setelah pengumuman kenaikan pun belum diketahui kapan dan besarannya.

Masalah kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menimbulkan kemelut. Kemelut itu terjadi karena terlalu banyak wacana, bukan perencanaan, terutama beredarnya opsi pengurangan subsidi BBM yang tidak matang ke publik, sehingga masalah BBM menjadi rumit. Langkah pemerintah yang melemparkan opsi-opsi tersebut yang masih bersifat wacana ke masyarakat merupakan bentuk tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Terlalu Banyak Wacana
Sepanjang tahun ini, pemerintah sudah terlalu banyak mengeluarkan wacana mengenai kebijakan BBM yang akan diberlakukan di masyarakat. Namun hingga saat ini belum ada satu pun kebijakan yang jelas. Padahal, setiap muncul satu wacana kebijakan BBM, pemerintah selalu menyatakan kesiapannya untuk menjalankan kebijakan tersebut. Masyarakat pun dibuat bingung dengan berbagai macam wacana yang dilontarkan pemerintah. Berikut lima wacana terkait BBM yang membuat masyarakat bingung.

1. Pemasangan RFID
Pemerintah mengaku masih mengandalkan teknologi informasi yaitu dengan radio frequency identification (RFID) untuk pembatasan konsumsi BBM. Pembatasan menggunakan RFID diwacanakan dimulai Juli nanti.
Menurut Menteri ESDM Jero Wacik penerapan IT tetap berjalan secara paralel dan baru selesai prosesnya bulan Juli. Pertamina sendiri masih menunggu payung hukum untuk pemasangan RFID untuk kendaraan bermotor. Awalnya, pemasangan RFID disebut-sebut membutuhkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 instansi.
Namun, menurut Direktur Jenderal Minyak Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemESDM) Edy Hermantoro, pemasangan RFID tidak memerlukan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 instansi. Memang BPH Migas akan bersama dengan Samsat dan Pertamina.

2. Premium dijual dua harga
Pemerintah sempat mengutarakan wacana pembatasan BBM dengan mengurangi subsidi BBM bagi orang kaya. Sedangkan subsidi penuh tetap diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Dalam hal ini, pemerintah sudah memberi sinyal bakal menjual BBM bersubsidi jenis premium dengan dua harga. Harga premium Rp 4.500 per liter untuk angkutan umum dan sepeda motor dan Rp 6.500 per liter untuk kendaraan pribadi.
Sejalan dengan kebijakan ini, Pertamina mengaku sudah menyiapkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) khusus untuk BBM bersubsidi jenis premium dan solar, yang menggunakan harga Rp 4.500 per liter. SPBU yang khusus menjual premium dengan harga Rp 6.500 per liter pun sudah disiapkan. Namun, pemerintah akhirnya mengubur wacana dua harga tersebut.

3. Kenaikan harga BBM
Setelah mengubur wacana pemberlakuan dua harga untuk premium, pemerintah memilih menetapkan satu harga. Dengan kata lain, pemerintah memilih menaikkan harga BBM secara menyeluruh untuk semua masyarakat. BBM bersubsidi jenis premium akan dinaikkan menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan solar Rp 5.500 per liter. Kapan kenaikan harga mulai diberlakukan?
Menko Perekonomian Hatta Rajasa secara tegas menyebutkan, jika APBN Perubahan 2013 sudah diketok oleh DPR, maka otomatis kenaikan harga BBM segera diberlakukan.
Hatta menjelaskan, jika sudah diketok, maka maka seluruh isi APBN Perubahan 2013 menjadi undang-undang dan harus segera dilaksanakan. Termasuk di dalamnya soal penyesuaian harga BBM.

4. Motor 0,7 liter, mobil 3 liter sehari
Terhitung Juli 2013, pemerintah membatasi pembelian BBM untuk mobil dan sepeda motor. Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan berdasarkan kebutuhan, sepeda motor 0,7 liter per hari, mobil pribadi 3 liter per hari. Kalau satu kendaraan satu hari hari sudah beli 100 liter itu jelas tidak benar.
Kebijakan ini menimbulkan kontroversi. Hingga akhirnya pemerintah mengubur dalam-dalam kebijakan tersebut. Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, pengisian bahan bakar 0,7 liter per hari untuk motor dan 3 liter untuk mobil per hari adalah hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia. Jero menegaskan tidak akan menggunakan hasil riset tersebut sebagai kebijakan.

5. Hanya boleh isi BBM penuh sehari sekali
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menegaskan tidak akan ada pembatasan pengisian bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Kendaraan seperti motor dan mobil boleh mengisi full bahan bakar mereka. Syarat hanya boleh satu kali masuk SPBU dalam sehari.
"Misalnya motor tangki besar boleh isi penuh 5 liter, nggak dibatasi. Mobil juga enggak dibatasi, tapi dengan mahalnya harga (karena kenaikan) mobil juga mikir mau isi full," ucap Jero Wacik.
 
Sudah Kehilangan Momentum
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi dinilai banyak pengamat sudah terlambat. Pasalnya, harga barang pokok sudah naik dan biaya kompensasinya lebih besar dibanding penghematannya. Kenaikan harga BBM yang akan dilakukan bulan ini hanya bisa menghemat anggaran Rp 26 triliun. Sementara anggaran kompensasi kenaikan harga BBM mencapai Rp 30 triliun.

Padahal, alasan selama ini pemerintah menaikkan harga BBM untuk menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi yang terjadi pemerintah harus nombok dan defisit anggaran malah membengkak. Pemerintah seperti mengorbankan masyarakat dengan dalih kesehatan fiskal.

Seharusnya kenaikan harga dilakukan dari awal 2013 karena saat itu ekonomi sedang stabil. Saat itu, harga-harga barang masih bisa dikendalikan. Apalagi dalam Undang-Undang APBN 2013 tidak perlu persetujuan DPR. Artinya, bila kenaikan BBM akan dilakukan Juni ini, sudah kehilangan momentum. Karena itu, tidak heran jika banyak pihak yang menolak kebijakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan BBM subsidi. Kebijakan BLSM sifatnya hanya bersifat jaring pengaman sosial yang justru tidak produktif.

Pemerintah dan DPR telah menyetujui anggaran program BLSM Rp 12 triliun untuk lima bulan, yang terdiri dari bantuan tunai Rp 11,64 triliun untuk 15.530.897 orang, safe guarding Rp 361 miliar, untuk kebutuhan imbal jasa PT Pos dua tahap Rp 279,55 miliar, percetakan dan pengiriman lembar sosialisasi program oleh PT Pos Rp 70,46 miliar dan untuk operasional koordinasi Rp 10,98 miliar.

Jumlah penerima BLSM juga tidak sesuai dengan Kementerian Sosial yang hanya 6,2 juta masyarakat miskin. Mestinya pemerintah bisa mengalihkan dana kompensasi kenaikan harga BBM tersebut ke program lain seperti kredit usaha rakyat (KUR) yang justru lebih produktif.

Seharusnya kenaikan harga BBM subsidi dibarengi dengan penataan sektor energi secara keseluruhan. Menurutnya, pemerintah saat ini hanya membicarakan kenaikan saja tanpa ada program penataan sektor energi yang jelas. Penataan itu meliputi peningkatan kegiatan eksplorasi migas, pembangunan kilang minyak, dan konversi BBM ke gas.  Selain itu, anggaran penghematan subsidi BBM bisa digunakan untuk mendorong pertumbuhan energi alternatif. Saat ini anggaran energi terbarukan sangat minim.

Padahal, anggaran subsidi terus membengkak setiap tahun. Tahun ini saja, subsidi bertambah Rp 16,1 triliun, yaitu dari Rp 193,8 triliun menjadi Rp 209,9 triliun. Artinya, kebijakan pemerintah soal energi hanya menimbulkan kerugian. Subsidi energi selama 2005-2013 telah menyedot 80 persen dari total subsidi. Selain itu subsidi tersebut sebagian besar berasal dari utang pemerintah.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Armida Alisjahbana mengatakan, kebijakan BLSM merupakan kompensasi pemerintah untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM subsidi. Armida juga berkelit bahwa anggaran BLSM bukan berasal dari utang tetapi diperoleh hasil penghematan anggaran kementerian.

Penetapan kenaikan harga BBM subsidi akan dilakukan setelah DPR dan pemerintah sepakat dan mengesahkan APBN-P 2013. Rencananya, APBN-P 2013 ini akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Senin 17 Juni 2013 nanti. Diperkirakan kenaikan harga BBM dilakukan kurang dari 7 hari setelah pengesahan APBN-P. Jika benar akan dilakukan sekitar tanggal tersebut berarti rakyat Indonesia akan mendapatkan "jackpot" berupa kenaikan harga BBM dan kenaikan rutin harga barang menjelang ramadhan. Selain itu melemahnya nilai tukar rupiah yang sudah menyentuh angka Rp10.000/US$ pada akhir-akhir ini dan belum ada tren penguatan akan menjadi tambahan alasan untuk menaikkan harga barang semakin tinggi lagi.

Saran Untuk SBY
Kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya dilakukan secara terprogram dan berkala. Akan lebih baik jika harga BBM dinaikkan sedikit-sedikit misalnya sebesar Rp500 dan dilakukan tiap setahun atau 2 tahun sekali. Kenaikan harga BBM yang tidak terlalu besar akan berpengaruh pada nilai inflasi yang tidak terlalu besar pula sehingga kenaikan harga kebutuhan pokok masih dapat dikendalikan. Selain itu selisih antara harga BBM sebelum kenaikan dengan setelah kenaikan sangat kecil sehingga dapat meminimalisir ulah para spekulan yang gemar menimbun BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar