Pemerintah kini dihadapkan pada
persoalan peliknya pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri (PNS).
Pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sekitar 70 persen tenaga
honorer diangkat menjadi CPNS, namun hingga batas waktu 2009, pengangkatan
bertahap itu tidak tuntas. Kini masih ada ratusan ribu honorer yang sudah lama
mengabdi di instansi pemerintah tidak bisa menjadi PNS karena faktor usia
melebihi 46 tahun.
Awalnya, SBY ingin memberikan
perhatian kepada ribuan pegawai honorer yang telah lama mengabdi, lewat
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 jo PP No. 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Menurut data Badan Kepegawaian Negara
(BKN), dari jumlah 920.702 orang tenaga honorer, alokasi CPNS (2005-2009) mencapai 899.196 orang. Pada
tahun 2012 dikeluarkan PP No. 56 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No.
48 No. 2005 untuk memfasilitasi honorer yang masih tercecer, dan berdasarkan
pendataan masih ada 152.310 orang yang belum CPNS. Mereka ini yang disebut
tenaga honorer kategori I, yakni honorer yang dibiayai oleh APBN/APBD.
Pemerintah juga dipusingkan
dengan kategori II, sekitar 628.465 honorer bukan dari APBN/APBD. Baru-baru ini
muncul kategori III yang semuanya menuntut pengangkatan menjadi PNS. Kebijakan
politik birokrasi ini menjadi blunder. Karena penambahan tanpa seleksi ini,
jumlah PNS membengkak menjadi 4,7 juta dan membebani APBN hingga lebih dari 30
persen, bahkan di APBD kota/kabupaten bisa di atas 70 persen.
Kebijakan ini mengabaikan upaya
peningkatan kualitas PNS. Selama 2003-2010 terjadi pertambahan jumlah PNS
sebanyak 26 persen atau rata-rata pertumbuhannya mencapai 3,25 persen, melebihi angka
pertumbuhan penduduk 1,49 persen. Selain dari sisi kuantitas, sejumlah
kebijakan memperburuk kondisi anggaran; kenaikan reguler gaji PNS, remunerasi,
dan tradisi gaji ke-13. APBN 2013 harus menyediakan Rp 241,121 triliun untuk
belanja pegawai.
Menteri Keuangan sudah memberi
warning, namun tenaga honorer menagih janji SBY. Mengapa pemerintah memanjakan
PNS? Perekrutan itu kental muatan politik untuk pencitraan menjelang 2009.
Birokrasi dijadikan mesin dan instrumen politisasi. Kondisi ini semakin
memburuk ketika penguasa mengandalkan praktik patronase, koncoisme, hubungan
kekerabatan dan kedekatan psikologis untuk menjalankan praktik pemerintahan
sehari-hari.
Di tengah makin rendahnya kepercayaan publik
terhadap pemerintah, kepada elite politik, dan menurunnya popularitas partai
penguasa, apakah pemerintah tetap akan menuntaskan pengangkatan semua kategori
tenaga honorer menjadi PNS? SBY dihadapkan pada pilihan sulit. Pertanyaannya,
apakah era pemerintahan reformasi ini — sebagaimana era sebelumnya — akhirnya
juga akan mewariskan kekarutmarutan kondisi keuangan negara?
Diolah dari: Suara Merdeka dengan beberapa perbaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar